Makna YESAYA 19:18-25 Bagi Kehidupan Menggereja GMIH
Dalam Realitas Politik Maluku Utara
Oleh : Pdt. Sefnat Hontong
- Ingin Jadi Nomor 1, 5 Orang Jadi Korban Tembak; Realitas Kisruh Pemilikada Kabupaten Pulau Morotai 2011, Pendahuluan Sebagai Pintu Kesadaran.
Saya tidak berniat (dengan judul ini) untuk mengajak kita dalam acara PA ini agar terlibat dalam memperbincangkan ke-legalitas-an hasil Pemilukada 2011 Kabupaten Pulau Morotai yang telah berlangsung dan yang telah diputuskan KPU. Tujuan saya hanyalah ingin memperlihatkan bahwa kecenderungan orang menjadi nomor 1 (atau paling tidak nomor 2), bisa mengakibatkan orang itu melakukan kekerasan fisik atau tidak melakukannya. Artinya; karakter Machiavellisme adalah keniscayaan terhadap orang-orang yang ingin menjadi nomor 1 atau 2, jika menganggap ada pihak-pihak tertentu yang mau menghalangi mereka. Inilah tujuan utama saya ketika me-rumus-kan point ini. Jadi mohon agar jangan salah kaprah, karena kita bukan MK tetapi GMKI.
Dengan menyebut kita bukan MK, tetapi GMKI sebenarnya dalam benak saya sedang berkecamuk kegelisahan: jika begitu apa yang bisa kita karyakan sebagai anggota GMKI ketika melihat realitas Machiavellisme dalam proses Pemilukada tersebut? Memang haris diakui bahwa kedua soal tersebut (legalitas dan Machiavellisme) inherent satu terhadap yang lain. Ketika karakter Machiavellisme itu menjadi pilihan orang dalam menentukan sebuah kebijakan, maka sekaligus hal itu akan mempengaruhi hasil yang dicapainya. Dalam artian; orang itu sebenarnya bertanya-tanya alias sedang menilai ke-legalitas-an kebijakan orang itu. Tetapi soalnya adalah tidak semua orang mempunyai kewenangan secara yuridis untuk menentukan apakah sebuah kebijakan itu legal atau tidak. Jadi, dari pada dituduh mencapuri urusan orang, lebih baik kita urus urusan kita sendiri, agar tidak terjerembab pada hal-hal yang bukan-bukan. Bukankah karena hal-hal yang semacam praktek Machiavellisme inilah, maka kita menyatakan diri bersatu dalam GMKI, dan yang lebih luas lagi menjadi Gereja?
Maka dari itu, pertanyaan yang penting di sini adalah mengapa praktek dan karakter Machiavellisme itu sering menjadi cara orang dalam memperjuangkan keinginannya (baik politis, ekonomis, sosiologis, agamais, dll)? Apakah tidak ada cara yang lain, yang lebih manusiawi ketimbang cara itu? Apakah memang fakta itu adalah kecenderungan ke-manusia-annya manusia, yang tidak bisa dielakkan? Apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Saya berharap dengan bertanya seperti itu, kita dapat dibingkai untuk mendalami apa yang hendak dimaksudkan oleh Nabi Yesaya dalam perikop (19:18-25) ini untuk selanjutnya bisa diterapkan pada panggilan kita sebagai GMKI/gereja dalam konteks politis seperti yang saya gambarkan di atas atau yang sama-sama kita ketahui bersama.
Dengan begitu, maka arah dan pencakapan PA kita sangat sederhana, yaitu: belajar dari teks ini agar sebagai anggota GMKI/gereja kita bisa menggambarkan karya-karya teologis kita dalam realitas sosial dan politik di daerah ini (Maluku Utara). Untuk mencapai arah dan sasaran itu, saya akan berjalan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama; memeriksa teks secara close reading dengan modus membandingkan kedua terjemahaan Alkitab oleh LAI; yakni: Terjemahan baru dan Terjemahan BIS, dengan harapan bisa ‘meraba’ kandungan makna teologis teks itu. Kedua, berdasarkan hasil ‘meraba’ kandungan makna teologis itu, saya akan mengajak kita semua untuk ‘masuk’ kedalam dunia teks yang sudah ‘dirabah’ itu dengan membawa seluruh ‘problem’ yang sedang melilit kita untuk merasakan suasana didalam teks, apakah kita merasa nyaman atau tidak. Ketiga; berdasarkan proses ‘masuk’ kedalam teks itu, saya harap ada solusi/jawaban terhadap ‘problem’ kita tadi.
Metodologi yang saya gunakan ini biasa disebut dengan metode tafsir model reader’s response. Pak Gerrit Singgih menjelaskan bahwa metode tafsir ini berhubungan erat dengan suatu ideologi yang hendak diperjuangkan. Dalam konteks kita, maka ideologi itu ialah Machiavellisme yang hendak kita kritisi dengan mendengar suara Nabi Yesaya 19:18-25.
2. Suara Nabi Yesaya; Tafsiran Pasal 19:18-25
Jika kita memperhatikan secara keseluruhan bagian perikop ini mulai dari ayat 1, maka dapat disimpulkan bahwa konteks perikop ini adalah ungkapan-ungkapan ‘negative’ bahkan mengandung nada ‘hukuman’ terhadap Mesir. Bahwa dihadapan Israel, bahkan dihadapan Allah Israel, Mesir dan ‘Allah’-nya tidak ada apa-apanya; Mesir harus takluk dan tunduk dibawah kaki Israel bahkan kakinya Allah Israel. Dalam hal ini mesir akan mengalami nasib yang sama dengan Babel, Asyur, Moab, Damsyik, Etiopia, Duma, Arabia, Tirus, dan Sidon (lihat pasal 13-23; yang diberi judul oleh LAI: Hukuman Terhadap Bangsa-bangsa) yang akan musnah dan hilang lenyap dibawah ‘kekuasaan’ Israel dan Allah Israel.
Seandainya sikon yang ‘sadis’ itu yang terjadi bagi masyarakat Mesir, maka kita seharusnya memahami bahwa yang tertulis dalam ayat 18-25, yang agak lunak bahasanya ketimbang dalam ayat 1-17, seperti: pada waktu itu akan ada lima kota di tanah Mesir yang berbicara bahasa Kanaan dan yang bersumpah demi TUHAN semesta alam (ayat 18). Pada waktu itu akan ada mezbah bagi TUHAN di tengah-tengah tanah Mesir dan tugu peringatan bagi TUHAN pada perbatasannya (ayat 19). TUHAN akan menyatakan diri kepada Mesir, dan Mesir akan mengenal TUHAN; Mereka akan beribadah dengan korban sembelihan, dan akan bernazar kepada TUHAN serta membayar nazar itu (ayat 21). TUHAN akan menghajar dan menyembuhkan mereka (ayat 22)., dst s/d ayat 25...., adalah suatu penggambaran dari penulis kitab bahwa ‘pada waktu itu’ (artinya; suatu saat yang diharapkan akan terjadi) di Mesir (dan juga Asyur) telah berganti hak kepemilikannya, yaitu; dari ‘Allah’-nya Mesir (dan juga Asyur) kini telah beralih kepada Allahnya Israel. Bahwa seluruh yang dipunyai Mesir (dan juga Asyur) kini telah beralih dan diserahkan sebulat-bulatnya menjadi milik Israel. Mereka kini telah takluk dibawah kaki Israel dan kakinya Allah Israel. Oleh sebab itu, mereka kini telah ‘layak’ menerima berkat-berkat dan jamahan-jamahan tangan TUHAN semesta alam, Allah Israel. Dulu, sebelum mereka takluk dan menyerahkan dirinya kepada Israel dan Allah Israel, jangan harap berkat dan jamahan tangan Allah Israel akan sampai kepada mereka. Namun sekarang, ketika (pada waktu itu) mereka telah meninggalkan ‘Allah’-nya masing-masing (bisa dibaca: telah bertobat dan lahir baru), maka mereka kini sudah berhak untuk selamat sama seperti Israel.
Kelihatannya gambaran visi sang penulis kitab ini sangat idela dan positif. Dan saya mencurigai visi-visi agama seperti itu. Bukankah kita juga sering berdoa agar ‘pada waktu itu’ (artinya; suatu saat yang diharapkan akan terjadi) semua lutut akan bertelut dan semua lidah akan mengaku: Engkaulah juruselamat dunia ini, yaitu apabila semua orang telah meninggalkan agamanya dan kita telah berhasil menjadikan semua orang memeluk agama Kristen? Sambil terus berkampanye tentang paham extra ecclesia nula salus dan melancarkan kegiatan pembaptisan massal dan KKR, banyak juga diantara kita yang selalu berharap agar ‘pada waktu itu’ semua orang kan bertobat dan lahir baru dengan cara menjadi Kristen.
Dari perspektif historis, saya rasa visi agama seperti yang di dambakan dalam teks kita ini (ayat 18-25) dan juga yang secara sadar telah kita jadikan sebagai visi agama kita, dalam realitasnya tidak atau jarang terbukti (dan jangan berkata ‘belum’, sambil berharap dalam doa: pasti akan terjadi, sebab nampaknya kemungkinan itu tidak akan pernah ada). Mesir dan juga Asyur, dari sudut pandang historis kita tahu sudah sedak dari Nabi Yesaya hidup dan sampai sekarang, tidak pernah menjadi Negara-negara penganut agama Yahudi atau Kristen, malah semakin menjadi Muslim.
Disampaikan Sebagai Bahan PA Dalam Acara Kebaktian
Gerakan Mahasiswa Kristen Indinesia
(GMKI) Cab.Tobelo. Jumat, 27 Juni 2011
Di Rumah Senior GMKI Abner Nones (Ketua DPD GAMKI Maluku Utara)
Masa Abdi 2011-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar